SEBELUM Kaldera Toba secara resmi ditetapkan sebagai anggota UGG (Unesco Global Geopark) pada tanggal 7 Juli 2020 yang lalu, komunitas lokal Desa Tipang bersama tim Pengabdian Masyarakat USU telah bergegas mempersiapkan diri sebagai desa wisata di pinggiran Danau Toba.
Sebagai peristiwa geologis sekitar 74 tahun yang lalu, Kaldera Toba memiliki tiga keunikan yang memang mendapat perhatian, yakni geo-diverity ‘keanekaragaman geologi’, bio-diversity ‘keanekaragaman hayati’, dan culture-diversity ‘keanekaragaman budaya’.
Ketiga keanekaragaman ini perlu menjadi daya tarik perhatian dunia yang turut berkontribusi menjadikan Kaldera Toba menjadi anggota UGG. Ada tiga prinsip Unesco untuk menerima Kaldera Toba sebagai anggota UGG, yakni prinsip pelestarian Kaldera Toba, edukasi kepada generasi muda, dan pengembangan kesejahteraan komunitas lokal.
Ketiga prinsip tersebut ternyata relevan dengan yang kami lakukan untuk Bius ‘Desa’ Tipang, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, di Kawasan Danau Toba. Kegiatan pengabdian masyarakat telah penulis lakukan sejak tahun 2017.
Sebelum melakukan kegiatan pengabdian masyarakat, kami telah beberapa kali malakukan penelitian hingga sekarang di Desa Tipang untuk mengetahui model kegiatan yang akan dilakukan dalam pengabdian masyarakat.
Tulisan ini lebih fokus untuk kegiatan pengabdian masyarakat, sedangkan kegiatan peneltian dibicarakan pada bagian lain. Paradigma pengabdian masyarakat dilaksanakan secara multidisiplin dengan pendekatan keilmuan antropolinguistik.
Paradigma multidisiplin mengarahkan untuk memandang Desa Tipang dari berbagai disiplin ilmu, sedangkan pendekatan antropolinguistik mengarahkan untuk mendekati Desa Tipang dari tradisi budaya atau tradisi lisan komunitas lokal termasuk menerapkan kearifan lokal dalam pembangunan Desa Tipang.
Pengabdian masyarakat dilakukan dengan sasaran untuk menjadikan Desa Tipang sebagai salah satu Desa Wisata Budaya di Kawasan Danau Toba. Desa Tipang, yang dalam bahasa setempat disebut Bius Tipang, memiliki potensi budaya yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan desa tersebut sebagai destinasi wisata.
Performansi budaya dan kebiasaan komunitas lokal yang berkenaan dengan upacara siklus kehidupan dan upacara siklus mata pencaharian dapat menjadi atraksi (attraction) yang menarik bagi wisatawan.
Upacara siklus kehidupan seperti masa kelahiran, pernikahan, dan kematian serta upacara siklus mata pencaharian seperti masa menanam, memelihara, dan menanam memiliki potensi budaya sebagai atraksi bagi pengembangan destinasi wisata.
Ritual Manganhon Indahan Siporhis dan tradisi Sihali Aek merupakan dua performansi tradisi budaya yang dilakukan oleh komunitas lokal Dasa Tipang setiap tahun pada bulan Oktober atau November dengan tujuan melancarkan irigasi.
Ritual Manganhon Indahan Siporhis merupakan upacara permohonan doa agar irigasi berjalan lancar, sedangkan tradisi Sihali Aek merupakan pengerjaan perbaikan irigasi. Ritual dan tradisi itu sangat menarik.
Di samping “memperkuat” performansi budaya dan ritual yang ada, dilakukan juga penciptaan atraksi baru berbasis tradisi budaya yang ada. Tradisi budaya yang ada semakin lestari dan bermanfaat bagi kehidupan komunitas lokal, sedangkan atraksi budaya yang baru semakin memikat dan menguntungkan bagi pelaku atraksi di komunitas lokal.
Desa Tipang memiliki tujuh perkampungan tua yang historis dan legendaris sebagai asal tujuh marga lokal Purba, Manalu, Debataraja, Silaban, Lumbantoruan, Nababan, dan Hotasoit. Sayangnya, ketujuh perkampungan tua itu tidak lagi berpenghuni.
Masyarakat perantau pemilik tujuh marga tersebut secara perlahan-lahan memiliki keinginan untuk membangun kampung mereka masing-masing karena dianggap merupakan daerah asal mereka.
Di samping perkampungan tua itu ada juga sekitar 25 kampung yang unik di Desa Tipang yang dapat memikat wisatawan sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai amenitas (amenity) untuk mendukung destinasi wisata di Desa Tipang.
Perkampungan-perkampungan tersebut memiliki empat jenis rumah, yakni rumah adat, rumah kayu berkolong, rumah “setengah batu” berlantai semen, dan rumah permanen berlantai semen. Kamar rumah adat di sekitar 25 perkampungan itu akan menarik jika dapat dimanfaatkan sebagai tempat tinggal (homestay) dan di kampung itu dapat disediakan produk lokal yang semuanya berpotensi sebagai amenitas bagi wisatawan.
Ada dua irigasi trdisional yang dibangun sejak Desa Tipang dipangun. Kedua irigasi tradisional itu disebut Aek Toba dan Aek Dolok. Panjang irigasi Aek Toba sekitar 4.500 meter yang mengalir air terjun Sipultak Hoda sebagai sumbernya dan mengairi sawah hingga ke hilir ke Danau Toba.
Panjang irigasi Aek Dolok hanya 2.800 meter, yang dibangun kemudian di bagian atas untuk mengairi sawah di bagian atas dan juga menambah debit air pada irigasi Aek Toba. Pematang kedua irigasi tradisional tersebut cukup lebar untuk jalan dari pinggir Danau Toba hingga ke air terjun Sipultak Hoda.
Dua irigasi yang mengairi persawahan di Desa Tipang memiliki dengan pematang yang luas sangat menyenangkan sebagai assesibilitas (accessibility) ekowisata bagi wisatawan. Jalan masuk ke titik-titik objek wisata budaya di Desa Tipang juga telah memadai.
Adanya generasi muda yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) beserta komunitas lokal yang sangat ramah dapat membantu wisatawan sebagai ansillari (ancillary) untuk mengetahui hal ikhwal Desa Wisata Tipang.
Kerja sama Raja Bius, Kepala Desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, dan generasi muda menjamin keamanan (safety) bagi wisatawan. Keramahatamahan Raja Bius, yakni dua pemimpin desa tradisional Parsanggul Baringin dan Pangulu Oloan beserta Raja Jolo ‘tokoh yang dikedepankan dari marga lokal’ membuat Desa Tipang sebagai desa yang nyaman (comfort) untuk tinggal dan berkunjung bagi wisatawan.
Potensi tersebut merupakan daya tarik bagi saya pribadi beserta tim dari Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat USU untuk terus melakukan pengabdian masyarakat di desa tersebut.
Pada 2017 dengan judul Kearifan Lokal Marsirimpa ‘Bergotong Royong’ Pengelolaan Irigasi Tradisional di Desa Tipang dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat tentang kearifan lokal berdasarkan nilai-nilai budaya lokal, simulasi untuk perumusan model pembentukan karakter berbasis kearifan lokal serta implementasinya, dan perumusan model pembentukan karakter berbasis kearifan lokal.
Kata marsirimpa yang berarti ‘bergotong royong’ saya temukan dari informan di Desa Tipang ini ketika saya melakukan penelitian pertama sekali sehingga mendorong saya menulis buku Marsirimpa: ‘Gotong Royong pada Masyarakat Batak Toba’.
Pada 2018 dengan judul Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Kearifan Lokal Tradisi Aren pada Masyarakat Batak Toba di Desa Tipang dilakukan kegiatan memberdayakan masyarakat di lokasi pengabdian tentang pengetahuan lokal yang berkenaan dengan inventarisasi produk dan penamaan (naming) yang berkenaan dengan pohon aren, memberdayakan masyarakat di lokasi pengabdian tentang wacana rakyat (folk discourse) sebagai memori kolektif tentang enau pada masyarakat sehingga cerita rakyat, pantun, peribahasa dan mitos tentang aren yang memiliki nilai dan norma budaya lokal hampir hilang dalam konsep (konseptualisasi) masyarakat, memberdayakan masyarakat di lokasi pengabdian tentang cara pembibitan dan penanaman pohon enau, pemberian informasi mengenai potensi ekonomis produk dari aren.
Pada 2019 dengan judul Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Kearifan Lokal Makanan Kuliner pada Masyarakat Batak Toba di Desa Tipang dilakukan kegiatan memberdayakan masyarakat di lokasi pengabdian tentang penamaan (naming), domain, dan taksonomi kuliner di lokasi pengabdian, memberdayakan masyarakat di lokasi pengabdian tentang performansi bahasa dalam penyampain tradisi kuliner terutama kuliner untuk adat di lokasi pengabdian, memberdayakan masyarakat di lokasi pengabdian tentang cara pembuatan kuliner di lokasi pengabdian, memberdayakan masyarakat di lokasi pengabdian tentang pemanfaatan kuliner untuk komponen pengambangan Tipang sebagai Destinasi Wisata.
Pada tahun 2019 dengan dukungan program Desa Binaan dari USU yang berjudul Pengembangan Desa Tipang Sebagai Destinasi Wisata Berbasis Tradisi Budaya dan Kearifan Lokal dilakukan kegiatan yang lebih besar, yakni memberdayakan masyarakat untuk performansi atraksi patupahon indahan siporhis, memberdayakan masyarakat untuk membuat performansi ritual manganhon indahan siporhis “memakan nasi yang paling enak” sebagai atraksi budaya, memberdayakan masyarakat untuk menjadikan performansi mangkali aek “memperbaiki irigasi” sebagai atraksi budaya, memberdayakan masyarakat untuk menjadikan performansi tradisi kuliner sebagai atraksi budaya, dan memberdayakan masyarakat untuk memperbaiki lokasi tradisi budaya sebagai tempat atraksi budaya di Desa Tipang yang disepakati dengan nama Parrungguan ‘tempat berkumpul’.
Pada awal 2020 melalui kerja sama Yayasan Suara Kebenaran Internasional dilakukan pemberdayaan masyarakat yang berjudul Budaya Hidup Sehat dengan kegiatan penyuluhan carai menyikat gigi bagi anak-anak SD, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gigi, pemeriksaan kesehatan umum dan pemberian vitamin, pemeriksaan mata dan pemberian kaca mata baca, pemberian alat bantu dengar, dan pemberian tongkat kepada lansia.
Pada pertengahan sampai akhir 2020 ini dengan judul Pemberdayaan Masyarakat tentang Kearifan Lokal Budaya Hidup Bersih dan Sehat PODA NA LIMA untuk Pengelolaan Lingkungan Destinasi Wisata di Desa Tipang dilakukan kegiatan memperdayaan masyarakat untuk tahu, suka, dan melakukan membersihkan hati (Paias Roham), membersihkan badan (Paias Pamatangmu), membersihkan pakaian (Paias Paheanmu), membersihkan rumah (Paias Bagasmu), dan membersihkan pekarangan (Paias Alamanmu).
Kegiatan pengabdian masyarakat ini diikuti oleh 25 orang dari semua perwakilan komunitas lokal yang dibagi atas 5 kelompok pada tanggal 20-23 Agustus 2020 di Desa Tipang, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Pengabdian ini dilanjutkan pada bulan September 2020 untuk melihat perkembangan dan kemajuan penyuluhan yang dilakukan pada bulan Agustus 2020 tersebut.
Pengabdian Masyarakat “Profesor Mengabdi USU” ini bertujuan untuk mengajak, memotivasi, dan memberdayakan seluruh masyarakat lokal di sekitar Danau Toba khususnya di Desa Tipang untuk secara aktif dan proaktif mengembangkan budaya hidup bersih dan sehat berdasarkan kearifan lokal PODA NA LIMA terutama menghadapi masa pandemi covid-19 dan sekaligus memberdayakan masyarakat untuk pengelolaan destinasi wisata Danau Toba, yang telah ditetapkan sebagai Toba Caldera Unesco Global Geopark (TC-UGG).
Berdasarkan hasil pengabdian masyarakat ini, pemberdayaan masyarakat yang sudah dan akan terus dilakukan berusaha memperkuat tradisi budaya yang ada dan sekaligus menciptakan atraksi budaya berbasis tradisi budaya tersebut.
Tradisi budaya yang ada akan semakin lestari dan dapat dinikmati oleh wisatawan sesuai konteks (situasi, budaya, sosial, ideologi) tradisi budaya tersebut. Atraksi budaya ciptaan baru akan memperkenalkan tradisi budaya Tipang dan dapat dinikmati oleh wisatawan sesuai permintaan wisatawan. Tradisi budaya termasuk ritual bersifat “baku”, sedangkan atraksi budaya ciptaan baru bersifat “fleksibel’.
Kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh tim dari USU diharapkan dapat bermanfaat dan berbuah dengan keinginan masyarakat melakukannya secara berkelanjutan dan berkesinambungan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun menyambut wisatawan untuk menciptakan kedamaian dan meningkatkan kesejahteraan komunitas lokal. Hingga sekarang telah ada beberapa dampak nyata pengabdian masyarakat ini.
Pertama, telah adanya produk kuliner lokal sasagun dan tipatipa yang dikemas dengan bagus sehingga dapat menjadi oleh-oleh dari Desa Wisata Tipang. Kedua, terbentuknya beberapa kelompok atraksi budaya yang dapat melakukan penampilan setiap saat selain atraksi pada pelaksanaan upacara ritual.
Atraksi budaya ini merupakan merupakan ciptaan baru berbasis budaya. Dengan ciptaan ini, terdapat kreasi baru, namun tradisi aslinya tetap lestari. Ketiga, terciptanya video yang akan menjadi youtube atraksi budaya Desa Tipang. Keempat, terbentuknya karakter etos kerja dan etika kebaikan yang berkenaan dengan sadar wisata di Desa Tipang.
Akhirnya, bukti nyata “sambutan” yang paling berharga dari komunits lokal adalah apabila semua komunitas lokal telah ikut berpartisipasi dalam pemberdayaan dengan melaksanakannya dalam kehidupannya sehari-hari untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan diri, kelompok, dan komunitas lokal di Desa Tipang.
Marilah kita sambut Kaldera Toba sebagai anggota Geopark Global Unesco dengan turut melakukan pelestarian Danau Toba, melakukan edukasi tentang Danau Toba kepada anak cucu, dan melakukan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan lokal di Kawasan Danau Toba.(**)