• Redaksi
  • Hubungi Kami
Senin, 27 Oktober 2025
perjuanganonline.com
  • Home
  • Nasional
  • Politik
  • Kota
  • Hukum&Kriminal
  • Daerah
  • Internasional
  • Kasak-kusuk
  • Olahraga
  • Otomatif
  • Ragam
    • Advertorial
  • Video
  • Foto
No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
  • Politik
  • Kota
  • Hukum&Kriminal
  • Daerah
  • Internasional
  • Kasak-kusuk
  • Olahraga
  • Otomatif
  • Ragam
    • Advertorial
  • Video
  • Foto
No Result
View All Result
perjuanganonline.com
No Result
View All Result
Home Nasional

POLITIK CUCI TANGAN COVID-19 VS POLITIK CUCI TANGAN PONTIUS PILATUS Oleh: Dr. Mauliate Simorangkir, M.Si.

Editor: Editor
Minggu, 17 Mei 2020
Kanal: Nasional

Editor:Editor

Minggu, 17 Mei 2020
Share on FacebookShare on TwitterWhatsappTelegram

Cuci Tangan dalam Pengertian Metaforis dan Non-Metaforis

Cuci tangan telah dikenal sejak abad ke-19. Cuci tangan merupakan tindakan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dengan tujuan untuk menjaga kesehatan.Cuci tanganjuga merupakan salah satu tuntutan agama yang dimaksudkanagar terhindar dari penyakit, khususnya penyakit menular (Wikipedia). Saat ini pemerintah dan para ahli di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia sedang menggalakkan (baca membudayakan) kampanye cuci tangan untuk menghindari penularan penyakit.

Jika dalam kisah Pontius Pilatus mengisahkan cuci tangan secara metaforis, maka cuci tangan dalam penanggulangan penyebaran COVID -19 adalah dalam pengertian yang sebenarnya. Dalam hal ini, yaitu mencuci dan menggosok permukaan dan belakang keduatangan serta celah-celah jari di air mengalir. Tujuannya yaitu agar tangan bersih dari bakteri dan kuman  yang menempel, termasuk kuman yang tidak kasat mata, seperti  virus COVID-19 yang telah membunuh ratusan ribuan umat manusia di berbagai belahan dunia.

Dengan pola cuci tangan yang benar, maka virus COVID-19 akan mati dan lepas dengan sendirinya.Dengan cuci tangan yang benar, maka tangan akan aman untuk melakukan aktifitas terutamamakan dan minum,serta aman menyentuh daerah muka, mata, hidung, maupun mulut yang menjadi pintu masuknya Covid-19. Itulah garansi (guarantee) “Politik Cuci Tangan COVID-19”.

Mengingat pentingnya pembudayaan cuci tangan tersebut, maka pemerintah melalui juru bicaranya (Achmad Yurianto) mengkampanyekan untuk tidak menyentuh area-area sensitif tempat masuknya virus seperti mata, hidung dan mulut sebelum mencuci tangan dengan benar “Jangan sentuh muka baik mata,hidung dan mulut sebelum cuci tangan di air mengalir dengan menggunakan sabun”. Dari kalimat pendek tersebut, menurut hemat penulis dapat diambil makna secara apa adanya maupun makna metaforis yang sarat makna dan nilai. Dalam pemaknaan apa adanya, kalimat himbauantersebut sangat mudah dipahami dan dilaksanakan oleh semua kalangan, tetapi sebagai kalimat metafora akan tergantung pada kesungguhan pejabat publik dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam mengemban amanah konstitusi.

Berdasarkan pengamatan penulis,sosialisasi danpembudayaan cuci tangan seperti yang disampaikan oleh jubir pemerintah di atas, dengan cepat diikuti dan dilaksanakan masyarakat dengan sukarela. Bahkan kedua cucu penulis, anak perempuanberusia 3 tahun dan anak laki-laki berusia 4 tahun mampu menangkap dan melaksanakan pesan di balik kalimat himbauan tersebut. Keduanya disiplin mencuci tangannya dengan pola COVID-19 secara sempurna. Intuisinya telah bekerjamemerintahkan inderanya untuk mencuci tangan, kapan dan bagaimana mencuci tangan yang benar sesuai dengan standar penanggulangan penyakit pandemic seperti COVID-19.

Sosialisasi dan pembudayaan cuci tangan dalam rangka memerangi COVID-19 dalam kurun waktu 60 harimampu merubah pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat tentang pentingnya TANGAN BERSIH. Masyarakat seperti baru menyadari manfaat mencuci tangan yang benar sebagai langkah efektif untuk menghindari virus yang telah mematikan ratusan ribu manusia di belahan dunia. Dengan biaya dan langkah sederhana, masyarakat dapat dengan mudah menjaga diri sendiri dari penularan COVID-19.

Dalam perkembangannya, istilah cuci tangan tidak hanya digunakan untuk menyebut suatu pengertian yang sebenarnya, tetapi mengalami perkembangan makna metaforis yaitu menunjuk pada pengertian seseorang yang tidak mau terlibat dalam suatu masalahwalaupun masalah tersebut diketahui atau tidak mau terlibat dalam kesalahan yang dibuat orang lain. Dalam sejarahnya,praktik cuci tangan (dalam pengertian metaforis) menjadi kebiasaan para tetua Yahudi.

Kebiasaan tersebut dimaksudkan untuk membersihkan dan melepaskan tanggungjawab serta tidak mau terlibat dalam berbagai keputusan penguasa dalam kisah hukuman cambuk/mati yang diputuskanterhadap seseorang, padahal seseorang tersebut tidak bersalah seperti digambarkan dalam Ulangan 21 ayat 6-7: “Semua tua-tua dari kota yang paling dekat dengan orang yang terbunuh itu haruslah membasuh tangannya di atas lembu muda yang batang lehernya dipatahkan di lembah itu, dan mereka harus memberikan pernyataan dengan mengatakan tangan kami tidak mencurahkan darah ini dan mata kami tidak melihatnya”.

Latar Ulangan 21 ayat 6-7 di atas adalah ketika Gubernur Pontius Pilatus yang juga hakimmengadili Yesus Kristus. Pilatus membiarkan bangsa Yahudi menghakimi Yesus Kristus walaupun tidak bersalah. Padahal Pontius Pilatus tidak menemukan satupun kesalahan yang dilakukan Yesus Kristus, akan tetapi dia tidak mampu menegakkan dan menyampaikan kebenaran.

Sebagai hakim, Pilatus tidak mendengar suara kenabiannya untuk meletakkan keadilan atas kebenaran. Justru dia menyerahkan Yesus pada pengadilan rakyat Yahudi untuk disalibkan, seperti terdapat dalam Matius 27:23-24 “Katanya (Pilatus): Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukan-Nya? Namun mereka makin keras berteriak: Ia harus disalibkan! Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, bahkan sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini. Itu urusan kamu sendiri!”

Pilatus sebagai pengayom dan sebagai penegak keadilan telah mengabaikan tugas dan fungsinya. Pilatus memiliki dan mengetahui tentang kebenaran yang hakiki dari suara kenabiannya, akan tetapidia kalahkankebenaranitu dengan konspirasi jahatatas desakan suara orang banyak.Padahal Pilatus memiliki privilegeatas dasar kenabian, namun tidak digunakan. Pilatus melepaskan privilege tersebut dan membiarkan konspirasi jahat masyarakat Yahudi terhadap Yesus Kristus yang tidak bersalah. Pilatus sebagai pejabat publik dan sebagai hakimmelacurkan politik kenabiannya dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang lemah dan tidak bertanggung dalam mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan.

Dia takut kehilangan jabatan dengan mengikuti desakan suara orang banyak melalui voting, bukan atas kebenaran yang hakiki yang diperoleh atas suara kenabiannya. Pilatus memilih membersihkan diri serta melepaskan tanggungjawab besarnya kepada masyarakat atas desakan suara orang banyak, padahal suara kenabiannya telah mengatakan bahwa Yesus Kristus tidak bersalah.

Puncaknya, dalam suatu sidang pengadilan terbukaPilatus memutuskan dengan memenangkan desakan/tuntutan banyak orang, tidak berdasarkan kebenaran. Sembari mengetok palu, Pilatusberucap sambil mencuci tangan “itu bukan urusannya tapi menjadi urusan bangsa Yahudi sendiri”. Pilatus mencuci tangan, tapi tangannya tetap kotor, sebab produk keputusan politiknya telah mencederai keadilan dan kebenaran. Jejak tangan kotor (dirty hands) Pilatusmengambil bagian yang sangat besar dari perbuatan jahat terhadap orang yang tidak bersalah.Itulah “Politik Cuci Tangan” Pontius Pilatus.

 

Politik Tangan Bersih: Pisau Bermata Dua

Dari kisah Gubernur Pontius Pilatus di atas terlihat bahwa ia berusaha mencuci tangan tetapi ia tetap tidak bisa membersihkan kotoran (ketidakadilan, kebohongan, dan perbuatan jahat)dalam menjalankan tanggungjawabnya. Ketika dihadapkan pada tanggungjawab, ia memilih melepas diri dan menyerahkan pengadilan Yesus Kristus kepada tuntutan orang banyak. Ia telah lalai dalam menjalankan amanah untuk menegakkan keadilan terhadap diri Yesus Kristus yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Akibat dari keputusannya, Yesus Kristus akhirnya disalib di tiang salib.

Menurut hemat penulis, apa yang dilakukan oleh Gubernur Pontius Pilatuspada suatu sidang terbuka yang memenangkan tuntutan massa di atas tuntutan hati nuraninya telah mengotori tangan kebijaksanannya, walaupun ia telah berusaha mencuci tangannya pada saat itu. Pontius Pilatusberpikir bahwa dengan mencuci tangan ia dapat melepaskan diri dari tanggungjawabuntuk menegakkan hukum secara adil, padahal yang dilakukannya adalah perbuatan aniaya terhadap nasib seseorang. Secara kasat mataPontius Pilatus memang berhasil membersihkan tangannya tatkala ia mencucinya pada saat itu, tetapi dia tidak berhasil mewujudkan keadilan melalui tangan kebijaksanaannya.Dengan demikian, Pontius Pilatus sebenarnya memahami pentingnya Tangan Bersih dari perbuatan yang telah dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, cuci tangan baik dalam arti sebenarnya maupun dalam arti metaforis sama-sama memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk membersihkan tangan kotor (dirty hands). Dari kasus Covid-19 dan kisah Gubernur Pontius Pilatuskita dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya tangan bersih. Jika cuci tangan pola Covid-19 berkonotasi positif, sebaliknya dalam kisa Gubernur Pontius Pilatuscuci tangan berkonotasi negatif. Akan tetapi, dari dua kisah di atas terdapat titik singgung pada keinginan dan pentingnya membersihkan tangan kotor (dirty hands).

Berdasarkan literatur yang penulis baca bahwa semua manusia di muka bumisejatinya cenderung ingin memerangi tangan kotor (dirty hands), yaitu tangan kekuasaan yang tidak digunakan untuk memperbaiki dan memberikan kemanfaatan untuk masyarakat. Dalam birokrasi pemerintahan, tangan kotor bekerja untuk memanipulasi dan menyelewengkan kekuasaan yang merugikan orang banyak. Tangan kotor sejak dahulu telah menjadi musuh bersama (common enemy). Konteks pentingnya Tangan Bersih tidak hanya dibutuhkan untuk membersihkan tangan dari COVID-19, tetapi juga dibutuhkan untuk membersihkan tangan kotor para birokrat dari perbuatan kotor.

Oleh karena itu, apabila kampanye pembudayaan TANGAN BERSIH diterapkan dalam kehidupan birokrasi pemerintahan, maka tangan Negara dapat menyelamatkan lebih banyak manusia melalui kebijakan pemerintah yang baik dan benar.Sebab dengan tangan bersih akan terhindar dari virus perbuatan kotor dan jahat serta pelanggaran akan norma dan nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat, juga dapat menyengsarakan pihak lain.Selain kebijakan yang baik yang benar, melalui Tangan Bersih juga akan dapat mewujudkan pelayanan publik yang baik bagi masyarakat. Pembudayaan cuci tangan pola COVID seperti digalakkan oleh pemerintah saat ini dapat menjadi senjata ampuh untuk membunuh dan membumihanguskan “do something shameful or illegal” (dirty hands).

Disamping itu, tangan bersih akan dapat menghasilkan karya-karya agung yang baik bahkan paripurna, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, terutama sebagai pertanggungjawaban moral obligation sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara maupun sebagai umat Tuhan.Sosialisasi dan pembudayaan Tangan Bersih seyogianya tidak hanya  diperuntukkan untuk terhindar dari virus Covid-19 yang mematikan itu, tetapi juga bagaimana pembudayaan ini diwujudkan atau diimplementasikan dalam tindakan keseharian masyarakat terutama dalam tata layanan berbangsa dan bernegara teramat khusus pada pelayanan publik.

Dari peristiwa pandemi COVID-19, kita telah melihat perubahan sikap dan perilaku bahkan tatanan kehidupan sosial masyarakat dunia, baik orang tua, remaja, anak-anak, pria, wanita, miskin, kaya, pejabat bahkan rakyat jelata. Masyarakat termotivasi untuk berubah secara periodik dari hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan. Sikap yang demikian menjadi catatan sangat menarik untuk dikaji dan diimplementasikan pada aspek tata layanan publik lebih lanjut terutama para pemangku kepentingan dan khususnya para pengambil kebijakan yang berada pada lini  strategis, agar produktivitas bangsa meningkat signifikan.

Menurut hemat penulis,kampanye pembudayaan TanganBersihdengan cuci tangan harus digeser dari semula hanya untuk memutus matarantai penularan virus COVID 19, ke kampanye Tangan Bersih birokrasi pemerintahan dari praktik manipulasi. Apabila birokrasi pemerintahan berhasil dibersihkan, maka dapat memutus mata rantai penyebab kesengsaraan rakyat. Dalam konteks birokrasi, meminjam istilah Martin Hollis seorang filsuf Inggris ketika manggambarkan Pembantaian Glencoe,Hollis, ia berkata: “politik adalah seni kompromi dan yang terbaik adalah musuh kebaikan” (Wikipedia). Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa tangan kotormenyukai dan hidupnya ada pada kecurangan,

Kampanye tangan bersih secara diametral dapat menghapus tangan kotor (dirty hands)yang berbahaya. Melalui kampanye tersebut, maka bukan hanya mata rantai penularan virus kejahatan atau kecurangan dapat dicegah,tetapi sekaligus berpengaruh terhadap penguatan posisi Negara dalam percaturan politik global. Situasi COVID-19 adalah waktu yang tepat mengejawantahkan good and clean governance dalam tata kelola pelayanan publik.

Para ahli, pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan pada khususnya yang menempati posisi-posisi strategis dalam pengambilan kebijakan Negara dituntut untuk mampu dan dapat mengejawantahkan pesan moral di balik pembudayaan “TANGAN BERSIH” COVID-19 pada sektorlayanan publik di berbagai tingkatan, mulaidari pemerintahan desa sampai dengan pemerintahan pusat.

Politik Tangan Bersih bukan hanya untuk kepentingan kesehatan hidup semata, akan tetapi secara metafis dapat diterapkan dalam tata kelolalayanan publik sebagai garda terdepan (avan gardis) untuk memutus matarantai kemiskinan, kemelaratan,kebodohan dan ketertinggalanyang menjadi tujuan akhir dalam bernegara. Langkah tersebut sekaligus dapat menjadi instrumen untuk mengejawantahkan arti dan fungsi penting dalam bernegara sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi(UUD 1945).

Disadari bahwa akibat dari tangan kotor birokrasi menyebabkan tingkatkesejahteraan sosial masyarakat yang satu dengan yang lain kian melebar. Terdapat kesenjangan (gap) yang cukup jauh antara satu bangsa dengan bangsa lain. Hal tersebut merupakan impact dari praktik tangan kotor birokrasi yang bekerja tidak didasari oleh norma, dan etos pengabdian sebagai abdi Negara. Akibatnya, Negara tidak mampu (paling tidak lamban) dalam menurunkan presentase penduduk miskin. Demikian halnya dengan pengangguran baru yang terus meningkat bahkan  menjadi salah satu komoditi oleh berbagai media baik dalam negeri maupun luar negeri.

Uraian di atas menunjukkan bahwa budaya Cuci Tangan COVID-19 sebagai upaya untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 merupakan sesuatu yang sangat mahal dan luar biasa. Mengikuti himbauan pemerintah, masyarakat diseluruh wilayah terlibat secara aktif mengambil bagian dalam upaya mencegah penularan Covid-19. Menurut hemat penulis, ada peluang sekaligus harapan agar para pemangku kepentingan (stakeholders) dapat segera memformulasikan dan membuat strategi yang tepat untuk menghadirkan TANGAN BERSIH COVID-19 ke dalam praktik tatakelola pelayanan publik. Penanganan Covid-19 dapat menjadi pengalaman berharga dan sangat mahal untuk diambil pelajaran guna memperbaiki tata kelola layanan kepada masyarakat.

Sosialisasi dan pembudayaan TANGANBERSIH secara masif oleh pemerintah dari hari ke hari dapat menjadi langkah penentu (paling tidak dapat mengeliminir) Tangan Kotor yang mengakibatkan keterpurukan dan ketertinggalan bangsa dan negara Indonesia dari bangsa-bangsa lain. Pola hidup sehat dan baik adalah dari tangan yang bersih dan dari tangan yang bersih itu juga diberikan guarantee untuk dapat menyentuh muka dan mulut, mata serta hidung negeri Indonesia tercinta ini.

Penulis mengajak semua pihak, khususnya para pemangku kepentingan untuk mencari dan melihat TANGAN BERSIH anak negeri ini hadir dan berada pada seluruh aspek tata layanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran dan keyakinan masyarakat saat ini tentang pentingnyaTangan Bersih, selayaknya juga disadari para pemangku kepentingan khususnya pengambil kebijakan bahwa melalui “Tangan Bersih” negeri ini akan mampu menciptakan karya agung yang paripurna yang jauh dari pelanggaran hukum serta jauh dari perbuatan curang.

Produk kebijakan dari TANGAN BERSIH akan bebas dari kolusi dan korupsi, bersih dari mafia impor, khususnya impor pangan dan alat kesehatan, bersih dari mafia proyek serta ekploitasi sumber daya alam yang berlebihan, bersih dari mafia hukum, bersih dari konspirasi, serta bersih dari politik kartel di berbagai sektor. Itulah ‘Roh’ Politik Cuci Tangan COVID 19 yang diidam-idamkan semua umat manusia di berbagai belahan dunia, khususnya masyarakat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan Pembukaan UUD RI 1945***

Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik dan Mantan Direktur Pengkajian International Lemhannas RI Jakarta

.

Berikan Komentar:
Print Friendly, PDF & Email
Tags: POLITIK CUCI TANGAN
Berita sebelumnya

Pemkab Asahan Lakukan Safari Ramadhan Khusus di Dua Kecamatan

Berita selanjutnya

Gila..! Dana Bantuan Dipotong 75 Persen

TERBARU

Endang Syah Afandin Terima Anugerah Tun Fatimah pada Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam

Minggu, 26 Oktober 2025

Penuh Hangat dan Suka Cita, Rico Waas Hadiri Lepas Sambut Dandenpom I/5 Medan

Sabtu, 25 Oktober 2025

Wakil Bupati Labuhanbatu Hadiri Pelaksanaan Lomba PAAR Oleh Tim PKK Provinsi Sumut di Pangkatan

Jumat, 24 Oktober 2025
  • Hubungi Kami
  • Redaksi
  • Sitemap
  • Pedoman Cyber
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Tentang Kami

© Copyright 2020 PERJUANGANONLINE.COM - Mengedepankan Amanah Rakyat All Right Reserverd

No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
  • Politik
  • Kota
  • Hukum&Kriminal
  • Daerah
  • Internasional
  • Kasak-kusuk
  • Olahraga
  • Otomatif
  • Ragam
    • Advertorial
  • Video
  • Foto

© Copyright 2020 PERJUANGANONLINE.COM - Mengedepankan Amanah Rakyat All Right Reserverd