PELANGGARAN pada penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) sering terjadi baik dilakukan oleh pasangan calon Kepala Daerah, calon legislatif (Caleg), partai politik (Parpol), organisasi masyarakat, dan penyelenggara Pemilu sendiri. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu memiliki 3 aspek yaitu integritas, profesionalitas dan netralitas.
Bagi anggota komisioner Pemilu yang memiliki integritas, profesionalitas dan netralitas tidak akan melakukan kecurangan dan manipulasi dalam proses dan tahapan Pemilu yang sedang berjalan, komisioner semacam inilah yang harus diapresiasi karena mereka memelihara jalan demokrasi dan demokratisasi Pemilu.
Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik atau pasangan calon Kepala Daerah biasanya pihak tersebut melakukan intervensi terhadap oknum anggota komisioner Pemilu dengan menjanjikan sesuatu atau iming-iming bahkan menerima finansial atau jabatan tertentu sehingga anggota komisioner tidak netral atau memihak dan tidak profesional dalam penyelenggaraan pemilu.
Anggota komisioner juga manusia biasa, tentu bisa saja terjebak untuk melakukan manipulasi dan kecurangan. Oleh karena itu, sebagai penyelenggara Pemilu juga harus memiliki atau mendapat pembekalan berupa pelatihan, pembinaan, penguatan, kapasitas, neralitas, kepribadian dan pembinaan karakter yang benar-benar prima di bidang integritas, profesionalitas dan kuat dalam netralitas.
Komisioner juga bisa tidak netral karena memiliki hubungan emosional dengan salah satu kandidat tertentu, mungkin keluarga dekat, satu suku satu kampung, satu daerah, satu agama, satu organisasi, satu komunitas dan sebagainya,
Yang namanya kecurangan tidak dapat ditoleransi karena kecurangan sangat mengganggu proses demokrasi dan harus diselesaikan sesuai aturan dan perundang-undangna yang berlaku. Sebagai anggota komisioner harus memilki harga diri, wibawa atau martabat, jika pelanggaran pemilu dibiarkan maka kepercayan publik terhadap penyelenggara hilang dan dipandang sebelah mata.
Dari semua ancaman tersebut, pelaksana pemilu harus berintegritas, profesional, netral damai, jujur, adil, dan demokratis, komisioner harus hati-hati dan mengikuti aturan dan perundang-undangan dan tidak melakukan tahapan di luar aturan.
Seperti pepatah mengatakan, “pengalaman adalah guru yang baik”, pengalaman mengajarkan kita tentang yang baik dan yang buruk. Pengalaman yang baik harus dipertahankan dan ditingkatkan sedangkan pengalaman yang buruk diganti dan diperbaiki ada 2 macam perilaku yang dimiliki, yaitu prilaku antagonis, perilaku ini perilaku yang merugikan, merusak membuat orang jengkel, marah, dengki, benci, dan konflik. Sedangkan perilaku/protagonis yaitu perilaku yang positif, jujur, bernilai benar, membuat orang senang, membahagiakan , menyejukkan, kedamaian dan keadilan.
Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai peran dan kemampuan masing-masing, manusia itu tidak bisa hidup sendiri tetapi saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, misalnya dalam aktivitas pengawasan pemilu di suatu kecamatan tentu seorang diri tidak akan mampu mengawasi daerah tersebut secara sendirian pada semua tahapan. Tentu saja dibantu oleh yang lainnya baik Komisioner, Staf, Sekretariat, Pengawas Kelurahan maupun pengawas TPS. Mereka akan saling bersinergi sesuai dengan fungsi masing-masing sebagaimana yang diatur oleh undang-undang.
Untuk menjaga netralitas penyelenggara pemilu sangat rentan karena pada hakekatnya penyelenggara pemilu dipengaruhi oleh pasangan calon kepala daerah, calon legislatif, partai politik dan organisasi masyarakat. Pihak-pihak tersebut acapkali tarik-menarik kepentingan dalam mempengaruhi para penyelenggara pemilu khususnya dalam tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Mereka sering didekati tim sukses dengan iming-iming tertentu.
Intimidasi bisa juga datang dari kalangan kelompok masyarakat dan dapat membuat PPS dan PPK menjadi takut.
Untuk mengatasi hal itu, penyelenggara harus membekali dengan integritas dan profesionalisme menjaga kerja sama dengan aparat hukum seperti Polri, TNI, dan elemen masyarakat dalam hal pengawasan.
Berdasarkan Undang-undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017, pelanggaran pemilu terbagi menjadi empat jenis, yakni Pelanggaran Kode Etik, Pelanggaran Administrasi, Pelanggaran Pidana dan Pelanggaran Undang-undang lainnya.
Pelanggaran Kode Etik yaitu pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berdasarkan sumpa atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Sementara Pelanggaran Administrasi yaitu pelanggaran terhadap tata cara prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan Administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan.
Adapun yang dimaksud pelanggaran pidana pemilu adalah tindakan yang dilakukan bertentangan atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait pemilu. Sedangkan Pelanggaran perundang-undangan lainnya yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun oknum-oknum pejabat BUMN/BUMD serta oknum-oknum TNI-POLRI. (Penulis adalah wartawan Harian Perjuangan Baru)