Sergai, POL | Bupati Serdang Bedagai Ir H Soekirman Launching dan Bedah Buku “Surat Dari Medan”, bempat di SD Negeri 104303 Kampung Ibus Sei Rampah, Senin (25/11/2019).
Turut hadir jWakil Bupati Sergai H Darma Wijaya, Kajari Sergai, Wakapolres Sergai, Kepala Dinas Kominfo Drs H Akmal, AP, M.Si, serta para Kepala OPD, Camat, Kepala Bank Sumut cabang Sei Rampah, FKUB Sergai, penggiat pendidikan, Dewan pendidikan serta puluhan guru.
Dalam sambutan Bupati Soekirman mengatan dalam budaya Batak bahwa memiliki anak merupakan harta kekayaan kita. Untuk itu anak kita harus diberikan pendidikan yang setinggi tingginya, dan tanggungjawab seorang ibu atau ayah untuk membuat anaknya berpendidikan.
Namun saat ini, banyak sekali anak-anak di desa menjadi korban dari narkotika, untuk itu perlu kita tingkatkan semangat belajar bagi mereka dan kegiatan positif untuk menghindarkan anak dari pengaruh bahaya narkotika, disisi lain, Kabupaten Sergai telah mencanangkan kampung budaya Jawa khususnya di Kampung Ibus dan pencanangan kampung budaya Melayu. Selanjutnya kampung budaya Banjar, Batak dan Bali.
“Pencanangan ini bukan untuk menunjukan individualitas atau feodalistis tetapi kita ingin hidup berdampingan, keberagaman untuk membawa kemajuan bangsa terkhusus di Tanah Bertuah Negeri Beradat, karena semua suku bangsa kita ini kaya dengan filosofi-filosofi yang telah yang telah terkandung dalam nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945,” ujarnya
Kata dia, buku “Surat dari Medan” ini merupakan ungkapan rasa syukur yang dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Buku ini disusun dan selesaikan saat tengah menunaikan ibadah haji di tanah suci. Buku Surat dari medan adalah salah satu napak tilas komunikasi penulis dengan banyak pihak. surat-surat yang ada di buku ini adalah yang selamat tersimpan dalam arsip.
“Namun lebih banyak lagi surat yang telah hilang, tercecer, tak terselamatkan. Sayang sekali, tentu tidak mudah mengumpulkan surat-surat yang beraneka ragam dalam rentan waktu yang panjang tak kurang dari 80 tahun,” katanuya
Bupati menambahkan, Surat dari medan tidak sehebat surat surat RA Kartini, yang disusun oleh Ny Abendanon di negeri Belanda, atau surat-surat dari Sumatera yang ditulis Van De Verde 1987. Akan tetapi Variasi catatan dan rentang masa dari sejak zaman penjajahan, zaman merdeka, Zaman orde Lama, zaman Orde Baru, Zaman Orde Reformasi, hingga zaman milenial 4.0 dapat dinilai sebagai suatu record literasi dari daerah, mengapa buku ini layak dibaca? Karena di dalamnya terdapat pemikiran yang terjadi pada zaman yang berbeda, diskusi dan polemik pemikiran menjadi alasan kuat buku ini sangat layak di baca.
“Mudah-mudahan dengan terbitnya buku “Surat dari Medan”, dapat menambah khazanah pemikiran dan modal pembangunan literasi bagi generasi muda bangsa kita Indonsia,” ungkapnya. (POL/PANE)