Medan, POL | Pihak kepolisian dinilai terlalu dini menetapkan Dosen Universitas Sumatera Utara (USU), Himma Dewiyana Lubis, menjadi tersangka kasus ujaran kebencian lewat akun Facebooknya. Kasus ini seperti dipaksakan.
“Kalau saya lihat, mereka ini (polisi) terlampau tergesa-gesa menyatakan itu ujaran kebencian. Kalaupun disebut ujaran kebencian, pada konteksnya ini ujaran kebencian yang dipaksakan,” sebut Rina Melati Sitompul selaku kuasa hukum Himma Dewiyana Lubis kepada wartawan, Minggu (3/2)
Kata Rina, pascasidang lanjutan agenda keterangan saksi dari kepolisian pada Jumat (1/2) lalu, dirinya mempertanyakan kepada saksi yang dihadirkan, siapa sebenarnya korban ketidaksenangan dari masyarkat atas postingan kliennya itu. “Masyarakat siapa? Mereka tidak bisa menjelaskan, mereka bilang hanya masyakarat media sosial. Makanya saya bilang ini sangat janggal,” ujarnya.
Bahkan, lanjutnya, berdasarkan isi berkas dakwaan kliennya itu, juga tidak ditemukan siapa sebenarnya pelapor atas postingan yang dianggap mengandung unsur ujaran kebencian. “Kami tidak melihat itu dalam berkas dakwaan. Artinya, memang tidak ada laporan dari masyarakat yang keberatan atas postingan tersebut,” ketusnya.
Menurut dia, pihak kepolisian juga tidak melibatkan saksi ahli sebelum memutuskan kasus ini masuk dalam kategori ujaran kebencian. “Mereka juga tidak tahu apakah setelah postingan itu, ada tidak keresahan di masyarakat. Mereka tidak tahu dan mereka juga tidak ada berdiskusi dengan saksi ahli,” katanya.
Sebab itu, dalam sidang agenda eksepsi sebelumnya, pihaknya menolak isi dakwaan JPU. Mereka menilai, JPU keliru memberikan dakwaan yang dianggap kabur dan tidak cermat. “Salah satunya terkait tidak adanya masyarakat yang melapor sebagai korban ujaran kebencian ini. Laporan justru dibuat penyidik. Tindakan pelapor yang sekaligus menjadi penyelidik tidak selaras dengan KUHAP,” urainya.
Rina menyebut, dalam kasus ini, kliennya hanyalah korban kriminalisasi penerapan Undang-undang (UU) ITE yang salah sasaran. Untuk menepis sangkaan pasal di UU ITE yang menjerat kliennya, dia juga sudah menyiapkan sejumlah saksi. “Kita juga nantinya akan menghadirkan saksi-saksi yang membantu dari teman-temannya yang nanti menjelaskan siapa sebenarnya ibu ini,” tandasnya.
Himma dalam kasus ini, didakwa karena menuliskan postingan yang dinilai berisi ujaran kebencian pasca bom yang terjadi di Surabaya tahun 2017 lalu.
Dalam surat dakwaan, jaksa penuntut umum menyebutkan, Himma menuliskan kalimat “Skenario pengalihan yang sempurna #2019GantiPresiden” dan “ini dia pemicunya Sodara, Kitab Al-Quran dibuang” dalam akun facebook miliknya pada 12 Mei 2017.
Postingan yang dibuat Himma, dinilai JPU dengan sengaja dilakukan terdakwa tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA
Postingan yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian itu, diketahui saat personel Subdit II Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumut sedang melakukan patrol siber dengan sasaran media sosial yang menyebarkan hoax dan hate speech, di kantor Ditreskrimsus Polda Sumut.
Petugas menemukan postingan terdakwa dan mulai melakukan penyelidikan. Pada hari itu juga, petugas menginterogasi dan terdakwa mengakui tulisan tersebut merupakan tulisannya.
Terdakwa membuat tulisan di dalam akun facebook Himma Dewiyana tersebut karena merasa kesal, jengkel dan sakit hati atas kepemimpinan Presiden Jokowi. Padahal, sebelumnya terdakwa Himma sangat mengagung-agungkan Jokowi sebelum menjadi Presiden RI.
Karena kesal, terdakwa pun akhirnya menumpahkannya rasa kecewanya lewat facebok. Termasuk memposting kejadian bom Surabaya sebagai pengalihan isu dari pemerintah. Dalam perkara ini, Himma sempat ditahan penyidik di Polda Sumut pada 20 Mei 2018 hingga 8 Juni 2018. Setelah itu penahanannya ditangguhkan.(BS)