Tapanuli Selatan, POL | Miris…ternyata di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Provinsi Sumatera Utara atau Sumut masih ada kawasan tertinggal, terisolir dan bahkan tidak salah jika disebut sebagai terbelakang. Akibat tertinggal, terisolir dan terbelakang itu, warga kawasan yang tidak jauh dari Kota Sipirok, ibukota kabupaten itu menyebut daerah mereka dengan julukan Luat Harangan.
Kenapa tidak ? Ternyata kawasan yang di dalamnya terdiri dari desa Dolok Sordang Julu bersama dusun Janji Lobi dan dusun Hasahatan Dolok serta paling ujung desa Pangaribuan bersama dusun Gadu, desa Pargarutan dan desa Panaungan, kawasan yang dihuni penduduk hingga 2050 jiwa itu tertinggal, terisolir dan terbelakang menjadi penyebab kawasan tersebut dijuluki sebagai Luat Harangan (daerah Hutan) yang pengertiannya adalah daerah terpencil, terisolir, terbelakang dan bahkan termarginal.
Warga di kawasan itu sadar dengan julukan negatif bahkan terkesan julukan menghinakan itu, walau julukan tersebut memang sesuai kondisi serta kenyataan yang terlihat di lapangan. Eksistensi dan pola hidup warga memang nyata terpencil, terisolir, terbelakang dan bahkan termarginal hingga di usia 75 tahun RI Merdeka ini.
“Kesannya sekarang pemkab Tapsel benar-benar tidak tertarik melakukan upaya dan langkah untuk membawa para warga itu menuju hidup sejahtera atau setidaknya tidak jauh beda dengan kehidupan warga sejumlah desa di kecamatan Marancar dan kecamatan Saipar Dolok Hole yang jalan kabupatennya sudah hotmix mulus,” kata sejumlah tokoh masyarakat Luat Harangan kepada awak media di Padangsidimpuan, Minggu (20/09/2020) siang.
Anehnya penduduk desa Dolok Sordang Julu bersama dusun Janji Lobi dan dusun Hasahatan Dolok serta paling ujung desa Pangaribuan bersama dusun Gadu justru heran dengan sikap pemkab Tapsel priode 2010 – 2015 hingga sekarang, padahal bupatinya mendapat jumlah suara yang signifikan pada pemilihan umum Bupati dan Wakil Tapsel tahun 2010 yang lalu.
Fakta dan kenyataan sekarang kondisi jalan tetap saja dibiarkan hancur-hancuran tanpa perbaikan yang benar-benar menunjukkan keberpihakan terhadap warga di kawasan ini, tertinggal, terisolir, terbelakang dan bahkan termarginal. Keadaan itu telah berefek langsung terhadap lemahnya tingkat perekonomian sehingga tak sedikit faktor itu yang menghambat anak-anak bangsa dari kawasan Luat Harangan untuk
isa menjangkau pendidikan tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) terlebih-lebih perguruan tinggi.
Usman Siagian (70), tokoh masyarakat dan bahkan hatobangon desa Pangaribuan saat tim investigasi tiba di kawasan itu beberapa waktu yang lalu mengatakan, jalan kabupaten menuju empat desa tersebut dibuka pada era meletusnya pemberontakan sekitar tahun1959 dan 1960, namun peningkatan kondisi jalan setelah itu seperti tidak lagi menjadi perhatian yang sesungguhnya dari pemerintah.
Menurut Usman, jalan jurusan Bunga Bondar – Gadu itu harusnya tidak layak disebut sebagai jalan untuk akses keluar masuk empat desa. Hanya saja, karena tidak ada alternatif lain, warga empat desa terpaksa
menggunakannya juga. Sekali lagi, karena tidak ada akses jalan yang lain, maka jalan itu terpaksa juga dijadikan sebagai akses untuk beraktifitas.
Awal dari kondisi kehidupan masyarakat Luat Harangan yang begitu memprihatinkan sebenarnya hanya karena kondisi jalan yang rusak parah dan hancur-hancuran. Badan jalan kabupaten yang kupak-kapik tersebut telah menjadi kesan bagi masyarakat penduduk desa Dolok Sordang Julu bersama dusun Janji Lobi dan dusun Hasahatan Dolok, desa Pangaribuan bersama dusun Gadu, desa Pargarutan dan desa Panaungan bahwa pemkab Tapsel hingga saat ini benar-benar abai terhadap hajat, kepentingan dan hak hidup warga di Luat Harangan itu.
Anehnya, pada pemilihan umum Bupati dan Wakil Bupati Tapsel tahun 2010, Syahrul M. Pasaribu berhasil meraih suara dengan jumlah yang signifikan dan berhasil terpilih menjadi Bupati Tapsel masa bhakti 2010 – 2015. Saat itu warga Luat Harangan menaruh harapan penuh kepada Syahrul untuk perduli dan aspiratif terhadap jerit serta keluhan mereka yang sudah lama menanti terwujudnya perbaikan jalan yang hanya 18 kilometer tersebut.
Namun, apa yang terjadi kemudian ? Hingga di akhir priode pertamanya, Syahrul M. Pasaribu justru menutup mata baik mata kepala maupun mata hatinya serta melupakan orang-orang yang banyak memilihnya pada pemilu 2010. Entah faktor sakit hati atau faktor lain, sikap abai Bupati Syahrul M. Pasaribu tersebut, pada pemilu 2015, rakyat setempat seperti abai terhadap upaya Syahrul untuk meraih dua priode jabatan bupatinya, walau hasilnya dia masih terpilih juga. (POL/balyan kn).







