Toba, POL | Pabrik PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (PT TPL, Tbk ) yang beroperasi di Sosor Ladang Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba mempekerjakan 8.000 orang lebih masih belum mampu memenuhi produksi bahan baku 1,2 juta ton eucalyptus pertahunnya karena konflik berkepanjangan dengan masyarakat yang selalu mengklaim sebagai tanah adat.
Akibat kekurangan bahan baku kayu eukaliptus, pabrik sempat stop beroperasi sampai 2 kali, pertama stop beroperasi 3 bulan dan baru baru ini stop beroperasi sampai 2 minggu, sebut Salomo Sitohang selaku Corporate Communications (Corcom) kepada sejumlah media pada acara media Vidids, Senin (12/11/2024.)
Bahan baku yang diperlukan sebanyak itu, karena kapasitas mesin sebesar 214.500 ton setiap tahunnya membutuhkan bahan baku yang tidak sedikit, agar produksi pabrik bisa normal berjalan setiap bulannya, dari Januari hingga Desember.
“Sesungguhnya tidak sulit memenuhinya. Hanya 70.000 hektar saja sudah mampu, mengingat lahan konsesi perusahaan seluas 167.912 hektar,” ujar Corporate Communication PT TPL, Salomo Sitohang.
Lanjutnya, sangat mudah memenuhi kebutuhan bahan baku dengan luas konsesi 167.000 hektar, menanam 30 juta pohon eucalyptus. Namun faktanya di lapangan bahan baku tidak terpenuhi sampai harus stop produksi.
“Seperti tahun lalu 2023, selama tiga bulan (Januari – Maret) terpaksa stop produksi dan tahun ini tidak produksi selama setengah bulan,” pungkasnya.
Kenapa kondisi perusahaan dapat seperti ini, karena disebabkan konflik di lahan konsesi dengan masyarakat, ijin yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Jadi TPL bukanlah pemilik lahan. 167.000 hektar merupakan hutan negara yang diberikan pemerintah. Ijin yang diberikan kepada TPL untuk dikelola secara bertanggungjawab, lestari dan berkelanjutan,” jelas Salomo.
Menurut dia, selayaknya masyarakat mengajukan klaim langsung kepada pihak pemerintah dalam hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sehingga apabila ada putusan penetapan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan, maka kita akan menghormati apapun keputusannya dan kita akan melepaskan dari kawasan konsesi.
“Dimana hal tersebut sudah dilakukan oleh perusahaan. Bahwa TPL merupakan perusahaan yang taat hukum, taat aturan dan taat Undang – Undang, seperti yang dilakukan melepas ratusan ribu hektar. Tahun 1991 konsesi seluas 269.000 lalu tahun 2021 berkurang menjadi 167.912 hektar,” terang Salomo.
Perusahaan berharap, ketika konflik masih juga terjadi dengan beberapa kelompok masyarakat, mengklaim bahwa tanah konsesi yang dikerjakan perusahaan saat ini, adalah bagian dari klaim mereka, tanah mereka, tanah komunitas, tanah adat atau apapun itu.
Untuk itu TPL akan menghormati apabila mereka menyampaikan usulan kepada pemerintah, seperti yang kita lakukan sebelumnya. Menjalankan keputusan melepas ratusan ribu hektar.
TPL juga tidak ingin konflik berlarut – larut dan berkepanjangan. Kendati demikian sepanjang belum ada keputusan tetap terhadap klaim yang diajukan Masyarakat, perusahaan punya program ‘Resolusi Konflik’ yang disebut kemitraan.
Merupakan peluang membuka kerjasama terhadap klaim yang diajukan. Dimana Masyarakat yang ingin menggunakan lahan tersebut untuk meningkatkan perekonomian dan perusahaan ingin menanam bahan baku di area tersebut dimaksud.
“Lahan tersebut, kita lakukan kerjasama dengan program tumpang sari. Perusahaan tanam eucalyptus sementara masyarakat menanam, tanaman musiman seperti cabai, jagung, ubi serta lainnya dan ini sudah berjalan,” sebut Salomo. (Sogar)