Jakarta, POL | Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Ma’ruf Cahyono menyatakan wacana penetapan jabatan presiden dan wakil presiden untuk satu periode dengan waktu tujuh tahun masa kepemimpinan terbuka lebar. Dirinya siap menyerap berbagai aspirasi apa pun dari masyarakat.
Hal tersebut dikatakannya setalah melihat Final Debat Konstitusi 2019, yang mempertemukan kedua kampus, Universitas Andalas dan Universitas Sumatera Utara dengan bahasan topik ‘Masa Kepemimpinan Presiden Tujuh Tahun dalam Satu Periode’.
“Jadi posisi saya sebagai lembaga tentu harus menyerap berbagai aspirasi ya harus dikelola dengan baik, karena konstitusi ini bukanlah suatu hal yang sifatnya statis semuanya diatur dalam konstitusi, jadi peluang itu sangat terbuka,” ujar Cahyono di Komplek Senayan, Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Cahyono menilai berbagai wacana-wacana yang dikemukan para mahasiswa dalam debat konstitusi itu memiliki konsep dan analisa yang kuat sehingga bisa jadi bahan rujukan ke depannya bagi MPR, khususnya bidang terkait yang menangani hal tersebut.
“Luar biasa, tadi suatu ide gagasan muncul berangkat dari suatu kondisi dan refleksi terhadap suatu perjalanan, kita kan memiliki masa jabatan lima tahun dan paling banyak dua kali. Ini anak anak luar biasa cerdas artinya dengan melihat situasi sosial yang ada dia kembangkan dan kritisi wacana wacana itu,” katanya.
Sebelumnya, kedua finalis yang berlaga untuk memperebutkan juara satu dan dua tersebut, akan diundi untuk menjadi Tim Pro atau Kontra pada ajang perdebatan soal jabatan presiden tersebut.
Setelah diundi, finalis dari Universitas Andalas bertindak sebagai Tim Pro, harus menyetujui diberlakukannya wacana pemberlakuan dengan mengembangkan berbagai situasi sosial yang terjadi. Sementara, sebaliknya Tim Kontra yang diwakili oleh Universitas Sumatera Utara harus menolak usulan jabatan satu periode tersebut.
Hal menarik yang diutarakan oleh Tim Pro yakni Universitas Andalas adalah adanya friksi-friksi politik yang terjadi apabila masih tetap menjalankan sistem jabatan dengan dua periode.
Terlebih dinilainya, sistem tersebut memperhambat kinerja pemerintahan sehingga menimbulkan banyak kepentingan. Apalagi saat menjelang pemilihan berikutnya, petahana memiliki kekuatan penuh untuk mengontrol berjalannya pemilihan tersebut.
Sementara disisi Tim Kontra dari Universitas Sumatra Utara, menyatakan bahwa friksi-friksi politik tersebut pasti akan terjadi meskipun sistem jabatan itu diubah, karena dinilainya, dengan adanya pemilihan itu masih akan memunculkan kepentingan politik lainnya.(POL/DC)