Medan, POL | Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi melantik puluhan pejabat eselon II dan ratusan eselon III Pemprovsu akhir-akhir ini untuk mengisi jabatan di lingkungan Pemprovsu, Selasa (21/02/2023), di aula Tengku Rizal Nurdin Jalan Sudirman Medan mengundang kecemburuan sosial.
“Pengangkatan dan pelantikan mengisi jabatan eselon II dan III dinilai tidak mengadopsi keterwakilan etnis sebagai pemangku adat dan budaya di Sumatera Utara, sangat kita sesalkan,” sebut Kadirun Padang dari Koordinator Lembaga Peduli Masyarakat Pakpak.(LPMP) kepada wartawan di Medan, Rabu (22/02/2023)
Dikatakan Kadirun, walaupun kebijakan itu tidak ada diatur dalam suatu peraturan atau undang-undang, seharusnya Edy Rahmayadi selaku Gubernur mengadopsi keterwakilan suku dalam mengangkat pejabat eselon II dan III dalam membangun Provinsi Sumatera Utara.
Sebab, Provinsi Sumut ini tidak terlepas dari daerah tanah Ulayat dan etnis, seperti suku Toba dari Taput sekitarnya, Karo di tanah Karo, mandailing dan Angkola di Tabagsel, Melayu di tanah Deli sekitarnya, suku Pakpak di Dairi dan Pakpak Bharat serta suku lainnya.
Suku Pakpak mempunyai dua kabupaten tanah Ulayat yaitu Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat dan juga bernaung di wilayah Pemerintahan Gubernur Sumatera Utara, sehingga putra putri Pakpak ingin diikutsertakan dalam membangun daerah ini. “Tentunya dengan cara diberikan porsi jabatan untuk bisa berkarya sebagai perwakilan etnis, sebagai salah satu pemegang hak Ulayat di Sumatera Utara,” sebut Padang.
Apalagi, sebelum pemerintahan Edy Ramayadi sebagai Gubernur Sumatera Utara kebiasaan keterwakilan sudah dirintis serta dilakukan oleh gubernur pendahulunya, seperti jaman pemerintahan Raja Inal Siregar, HT Rizal Nurdin, Rudolf Pardede, Gatot PN dan T Erry Nuradi.
Minimal, sebut fungsionaris DPP Formadana ini, satu orang perwakilan etnis suku yaitu satu eselon II dan beberapa orang eselon III ada di Pemprovsu mewakili suku, contohnya etnis pakpak. “Pada saat itu jugalah digairahkan kegiatan Forum Komunikasi Lintas Adat (Forkola) Sumatera Utara yang diisi kumpulan perwakilan para tokoh adat di Sumut,” tambah Ketua DPP LSM SIMPARAS ini.
Namun setelah diamati selama Pemprov Sumut dipimpin Edy Rahmayadi, hal yang sudah dirintis gubernur pendahulunya diabaikan dan tak berlaku lagi, sehingga jargon Sumut Bermartabat hanya sebatas tulisan. “Terbukti sejumlah pelantikan di masa pemerintahan Edy Ramayadi kurang mengadopsi keterwakilan etnis yang ada di Sumut, terutama suku Pakpak,” ungkap Kadirun Padang.
“Selaku seorang Suku Pakpak, saya menilai Gubernur Sumut Edy Ramayadi kurang mencintai atau menganggap tidak ada lagi suku Pakpak sehingga selama kepemimpinannya tidak pernah putra-putri etnis Pakpak diberi kesempatan berkarya sebagai jabatan eselon II di Pemprovsu untuk membangun Sumut,” tegas Kordinator Lembaga Peduli Masyarakat Pakpak ini.
Pedahal beberapa orang ASN Pemprovsu putra putri Pakpak berulangkali mencoba mengikuti lelang jabatan di lingkungan Pemprovsu, namun semua kandas dan tak terpilih untuk dilantik oleh Gubsu menjadi salah satu menduduki jabatan eselon II
“Apakah karena orang Pakpak itu miskin atau karena tidak punya duit atau karena tak mampu SDM-nya, dan kalau masalah SDM saya kira bisa mengimbangi atau setidaknya mengikuti sahabat kita suku lain,” ujar Padang.
Seharusnya, bebernya lagi, jargon Sumut Bermartabat itu betul-betul semua bermartabat dengan melibatkan seluruh suku untuk berkarya membangun Provinsi Sumut agar tak ada kecemburuan. Tapi kalau begini kebijakan Pemprovsu mengangkat pejabat mengisi jabatan, rasanya Sumut kurang Bermartabat.
“Wajar saya beserta orang Pakpak lainnya tidak simpati pada Gubernur Sumut periode sekarang. Padahal kami beserta kawan-kawan memilih pak Edy Rahmayadi pada pilgubsu lalu dan berharap ada kebijakan yang agak lebih baik pada saat ini,” ungkap Kadirun Padang. (POL/isvan)